Rabu, 02 Mei 2012

Istri-istri Pamanku 03


Sambungan dari bagian 02

Sambil masih memilin puting kirinya dan menciumi lehernya, aku membuka ritsluiting celanaku, menurunkan sedikit celana dalamku, lalu kukeluarkan penis raksasaku. Tangan kananku menjulur kebawah lalu dengan sekali tarik kuangkat ujung baju kebayanya ke atas sehingga punggung mulus berhias tali beha hitam milik isteri Mang Iyus itu kini terpampang di hadapanku. Kuletakkan penisku yang sudah sangat tegang itu di atas kulit mulus punggung Bi Laha. Lagi-lagi Bi Laha membuka matanya dengan pandangan kebingungan, antara keinginan melihat penisku bercampur dengan ketakutan akan melakukan persetubuhan dengan lelaki bukan suaminya. Ia hanya bisa mengerang dan menggelinjang sambil menoleh menatapku ketika dirasanya daging keras penisku mulai menggesek-gesek kulit halus punggungnya, dirasanya punggungnya mulai ditetesi oleh cairan bening yang keluar dari lubang penisku. Bi Laha benar-benar terlihat berada di simpang jalan. Ia begitu bergairah dengan sensasi yang belum pernah dialaminya selama hidup, namun ia begitu ketakutan melihat keponakannya dengan penuh nafsu tengah meremas-remas susunya, memilin putingnya, menggesekkan penis di punggungnya, dan.. perempuan itu dengan mudah menebak bahwa perbuatan ini akan berakhir dengan persetubuhan!

Jam dinding berdentang keras menandakan pukul 8 malam. Waktu dimana Mang Iyus biasa pulang. Seakan tersadar dari mimpinya, Bi Laha meronta dan menahan kedua tanganku yang masih sibuk meremas buah dada dan putingnya, "Fi.. tolong.. stoop.. inget Fi.. kamu keponakan bibi.." Sambil berkata, perempuan itu menjauhkan kedua tanganku dari buah dadanya. Tak kehilangan akal, begitu terlepas dari puting, tangan kananku langsung menyambar selangkangannya dan meraba gundukan daging di balik kain jarik yang sudah tak karuan bentuknya itu. Dengan cepat tanganku mengocok vagina Bi Laha dari luar. Bi Laha sempat terbelalak melihat reaksiku, ia sama sekali tak menduga gerakanku dan matanya tampak terkejap-kejap menikmati kocokan jemariku di celana dalam nilon yang menutupi daerah klitorisnya.

("aahh, tangan keponakanku ini benar-benar luar biasa. Kocokannya benar-benar membuat seluruh lorong vaginaku terasa geli. Dindingnya yang terasa amat basah itu mulai berdenyut. Ingin rasanya aku membuka celana dalamku dan membiarkan jemari kasarnya mempermainkan daging kemaluanku. Sial, haruskah aku menghentikan kenikmatan ini? Tapi, betapa kejamnya orang menghujat seorang isteri tak setia!")

Sempat ia merenggangkan paha beberapa saat seakan menyilakan tanganku mengeksplorasi vaginanya lebih jauh, namun dengan kekuatan entah dari mana, ia berteriak "Fii.. lepaskaann Bibi.." lalu meronta, dan mendorongku kebelakang hingga nyaris terjengkang. Perempuan itu meloncat dari duduknya dan lari menjauh. Rambutnya acak-acakan, buah dadanya bergelayutan keluar dari beha nya, kain jariknya nyaris lepas dari stagennya. Sial! Padahal dia hampir menyerah! "Fi.. cukup Fi.. kita nggak boleh berbuat lebih jauh dari ini, bibi yakin kalau kita teruskan ini akan berakhir di atas ranjang." katanya dengan nafas memburu sambil membelakangiku dan memasukkan kembali kedua buah dadanya ke dalam beha. "Nggak akan berakhir di ranjang bi.. kan saya sudah bilang dari awal.. bibi nggak akan saya apa-apain, masa bibi nggak percaya omongan saya?" Ia merapikan baju kebaya dan rambutnya "Bukan itu Fi, bibi ngga percaya pada bibi sendiri."

(Mendadak Laha sendiri ragu. Apakah ia harus bangga atau menyesal akan keputusannya ini)

Lalu ia berbalik ke arahku dan perempuan itu terbelalak, ia tampak terkejut dan tanpa sadar menjerit kecil, "Ya ampuunn Rafi.. besarnya.." Mata Bi Laha terpaku pada penisku yang masih mengacung tegang keluar dari celana dalamku. Urat-urat tegang tampak sekali menonjol di sekeliling batang berdiameter 3-4 cm itu. Kepala penisku menunjuk langsung ke wajah perempuan berusia paruh tiga puluh itu. Keraguan kembali tergambar di air mukanya. Dari situ aku yakin, bahwa birahi isteri pamanku itu masih tersisa terlalu banyak untuk dilewatkan begitu saja. Nafsuku benar-benar sudah naik ke kepala, aku sudah tak peduli, kubungkam suara hatiku, kubuang janji-janji bull shitku pada Bi Laha dan dengan cepat kuhampiri tubuh montoknya lalu kupeluk dengan erat. "Rafii mau apa kamuff.. mphh.." Teriakannya terpotong oleh lumatan bibirku di atas bibirnya yang ranum itu. Itulah kali pertama aku mencium bibiku.

("Hah, ia menciumku, ia menciumku! Rafi, kamu adalah laki-laki kedua dalam hidup yang pernah mencium bibir bibi. Oh, nikmat betul merasakan lidahmu menyapu seluruh rongga mulut bibi. Nikmat betul merasakan bibirku disedot dan digigit. Uh, apakah kamu juga akan menjadi lelaki kedua yang akan.. yang akan.. menyetubuhiku? Dan gelagat itu sudah tampak. Coba lihat, tanganku tak bisa bergerak. Tubuhku didekapnya erat. Jangan-jangan, jangan-jangan.. pemuda ini sungguh-sungguh berniat memperkosaku. Hah, bagaimana kalau orang lain tahu?" Bagi perempuan ini, kata 'perkosa' kini menimbulkan gairah sekaligus kekhawatiran.)

Pelukanku sedemikian eratnya sehingga terasa buah dadanya yang menggencet dadaku seakan hendak pecah. Ia melepaskan bibirnya dari lumatanku dan memalingkan muka mencoba untuk melawan. "Rafi.. jangan.. saya istri pamanmu.. ohh.. nanti bibi teriak!" Tak kuhiraukan kata-katanya. Di kupingku terngiang bisikan-bisikan yang terasa semakin keras: Dia mau.. Dia mau.. Paksa dia.. Perkosa dia..! Maka dengan bertubi-tubi kuciumi lehernya sehingga walaupun ia meronta dan memukul-mukul punggungku, terasa sesekali badannya menggelinjang karena geli. Bunyi kecupan bercampur erangan birahiku dan desahan yang memohon aku melepaskannya menggema di udara dingin rumah besar di Kabupaten Garut itu. Ia memejamkan matanya tak berani menatapku yang kini mulai menjilati telinga dan lehernya, "TOLOONG.. TOLooNG!!" Tiba-tiba perempuan itu menjerit.

("Aku takut! aku benar-benar takut! Saat ini aku memang dahaga lelaki. Dan itu bukan berarti aku mau diperkosa oleh keponakanku sendiri. Apalagi katanya, seorang pemerkosa cenderung selalu berbuat kasar. Oh tiba-tiba aku merasa begitu ngeri melihat pemuda itu menciumi leher dan kupingku dengan ganas. Tapi, haruskah berteriak?")

Aku terkejut mendengar teriakan Bi Laha. Ini bahaya..! Bisa bubar semua rencana! Lalu kudorong dengan paksa dan kurebahkan tubuh sintal yang meronta-ronta itu ke atas meja. Kedua tanganku dengan kuat menahan pergelangan tangannya yang kini membentang ke atas. Bi Laha semakin meronta. Kepalanya di palingkan dengan keras ke kiri ke kanan untuk menghindari bibirnya dari lumatanku. Pinggulnya yang terbaring di pinggir meja disentak-sentak untuk menjauhkan penisku dari selangkangannya. Well, tak ada pilihan lain, sorry Bi Laha. Lalu dengan kasar kutindih tubuh montok itu sehingga rontaanya tertahan, pinggulku mengunci gerak selangkangannya, penisku kini tergencet oleh perutku dan selangkangannya.

("Betul dugaanku. Lelaki ini tiba-tiba jadi kasar! Aduh, aku jadi betul-betul ngeri! Aku takut ia menamparku, aku takut ia melukaiku. Aku juga takut, ia akan mengoyak-ngoyak vaginaku. Ya Tuhan, malang nian nasibku. Aku takut darah!")

Lalu tanpa sengaja penisku itu tergencet oleh sebuah gundukan daging hangat yang terasa ditutupi oleh bulu-bulu lebat. Berani taruhan bulunya pasti lebat sekali, soalnya dari luar kain kebayanya saja sudah terasa kelebatannya, mengingat itu darahku terasa berdesir.

("Tunggu Laha, ketakutanmu terlalu berlebihan. Pemuda ini cuma kasar ketika menindihmu. Itu pun karena kau berteriak!" Logika Laha mulai bicara. Tiba-tiba perempuan itu menyadari betapa sesungguhnya kekasaran pemuda itu tak lebih dari reaksi akibat terakannya tadi. Lalu kengerian itu sirna. Lalu ada kehangatan di selangkangannya. "Ouuh Rafi, sungguh hangat dan keras penismu itu. Ayo, gesekkan, gesekkan penismu di atas vagina bibi.. Tapi.. tapi.. bagaimana kalau suamiku tiba-tiba pulang?")

"Silakan berteriak bi.. ngga ada gunanya.. di rumah ini nggak ada siapa-siapa.. orang di jalanan juga ngga bisa denger.." kataku menantang dengan nafas tak kalah memburu dengan Bi Laha. "Kalaupun ketahuan paling saya diusir.. tapi bibi..? Bibi bisa dicerai oleh Mang Iyus yang sudah punya Nuke, jadi apa untungnya berteriak?" Bibiku tak bisa menjawab namun matanya menyorotkan sinar kemarahan padaku. Entah marah karena kata-kataku atau perbuatanku.

("Jangan pernah kau sebut nama sundal itu di hadapanku!")

"Bi.. saya tau bibi selama ini kesepian, apalagi setelah Mang Iyuspunya Nuke makanya bi.. pikir praktis saja.. kalau Mang Iyus boleh punya perempuan lebih dari satu.. kenapa bibi nggak..?" Aku mulai coba meyakinkan bibiku dengan logika-logika ngawurku. Bi Laha kembali memejamkan mata dan memalingkan muka seraya menggigit bibir. Tampak betul ia tengah berusaha menekan kemarahan di dalam dadanya. Mataku menelusuri tubuh sintal yang tertindih oleh tubuhku. Baru kusadari betapa merangsangnya posisi tubuh Bi Laha itu dilihat dari atas. Kedua tangannya membentang ke atas dan pahanya mengangkang. Ketiaknya yang tampak putih di balik kebaya brokat hijau itu dipenuhi oleh bulu keriting yang lebat. Wangi khas menyebar dari ketiaknya menandakan mental perempuan itu saat ini tengah tertekan. Tapi wangi itu membuat gairahku meningkat lagi. Suka atau tidak, isteri pamanku ini akan kesetubuhi! Aku kembali menciumi leher Bi Laha dengan bertubi-tubi, terus ke dada mengitari puting susu lalu mampir ke ketiaknya yang rupanya merupakan weak point bibiku karena terdengar ia mendesah ketika aku mulai mengecupnya, tanganku melepaskan pergelangan tangan Bi Laha dan, brett..! Dengan kasar kurobek kebaya di bagian dada sehingga buah dada besar yang masih tertutup BH hitam itu terbuka menantang wajahku. Tangan Bi Laha berusaha menutupi dadanya yang kini bebas dilihat oleh mataku. "hh.. Fii.. bibi malu.." bisiknya lirih.

("Ya Tuhan, ia akan melakukannya.. ia akan melakukannya! Ia akan memperkosaku! Ooohh.. semoga tak ada kekasaran lagi.")

Aku kembali meraih tangan Bi Laha dan menahannya dalam posisi membentang ke atas. Posisi itu membuat bagian depan kebaya brokatnya terbuka ke samping sehingga perutnya yang kencang dan mulus itu terlihat dengan jelas. Buah dadanya terangkat keatas tertarik behanya yang cuma mampu menutupi 3/4 bagian buah dada bibiku itu. Bagian bawah bukit kembarnya menonjol keluar dari bagian bawah beha hitam berukuran 34 itu. "Susu bibi seksi sekali.. Mang Iyus benar-benar lelaki beruntung.. " Dan aku pun mulai menciumi daging empuk di bagian atas buah dadanya, lalu aku gigit behanya dan kuangkat kedua cup-nya sehingga kedua buah dada itu melejit keluar. Wuiihh.. benar-benar buah dada yang indah, begitu putih dan mulus, urat-urat birunya tergurat halus di sekitar putingnya yang berwarna coklat kemerahan. Aku mulai mengecup dan menjilati buah dada kenyal itu dengan rakus, kecupan dan jilatanku itu mulai menyusuri daerah sekeliling putingnya. Gerakan melingkar itu semakin kecil dan semakin kecil, "Ehh.. Euhh.. ss.." Ditengah rontaannya yang mulai melemah, terdengar Bi Laha merintih dan mendesis keenakan sambil terus membuat gerak melingkar lidahku sesekali menyentil putingnya membuat rintihannya semakin keras diselingi dengan nada kesal karena merasa dipermainkan.. hehe.. rupanya perempuan ini ingin cepat-cepat diisap, if that what you want that is what you get. Satu, dua.. dan.. tiga! Lalu kumasukkan puting dan 1/2 buah dada istri pamanku itu ke dalam mulutku. "Aohh.. ss.." Gerakan tubuh Bi Laha mulai liar. Lalu dengan rakus kusedot dan jilat putingnya bergantian kiri dan kanan. Sambil merintih Bi Laha menjilati bibirnya sendiri dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Rambutnya sudah awut-awutan dan setengah basah terkena tumpahan air minum di meja. Denyutan di penisku terasa makin keras, akupun tak mau berlama-lama. Sambil terus menyedot buah dada dan putingnya, tangan kiriku melepaskan tangan Bi Laha dan dengan cepat menyingkap kain kebaya Bi Laha sampai sebatas perut sehingga terlihatlah pahanya yang putih mulus itu mengangkang di depan penisku. Dari luar celana dalam nya yang berwarna krem, terbayang segumpal bulu keriting lebat yang menutupi vagina. Sebagian daripadanya nampak keluar dari celana dalam yang basah di daerah selangkangan itu. Duh Bi Laha.. aku benar-benar tak sabar untuk segera mencium, menjilat, dan memasukkan penisku ke vaginamu yang seksi. Lalu tangan kiriku dengan cepat meraba pahanya dari lutut sampai selangkangan. Begitu sampai, jari tengahku langsung kutempelkan di belahan vaginanya, dengan seketika jariku merasakan kehangatan pada celana dalam yang sudah basah dan lengket itu. Pelan-pelan kutekan jari tengahku sehingga kain celana dalamnya ikut melesak masuk ke liang vaginanya. Otot Bi Laha menegang, pinggulnya terangkat sedikit membuat jariku dan kain celana dalamnya semakin terbenam, "Fii.. eehh.." Dengan mata terbelalak ia merintih. Kepanikan mulai terbayang di wajahnya.

("Oooh Rafi, terus terang aku takut. Aku yakin perbuatan kita ini akan berakhir dengan persetubuhan. Dan aku takut kalau suamiku benar-benar pulang! Dan menceraikanku dengan tuduhan bersetubuh dengan keponakannya! Tapi bukankah aku diperkosa?" Laha tersentak. Ternyata ia mulai mencari justifikasi.)

Tangan kanannya yang bebas memegang dadaku seakan siap untuk mendorong.. Oh NO YOU DON'T.. tak akan kubiarkan terulang lagi, kuhentikan semua aktivitasku lalu SReeT..! Dengan cepat kedua tanganku menarik celana dalam isteri kesepian itu ke bawah sehingga lolos melalui kedua pergelangan kakinya. "Ahh.. FII JANGaaNN.." Bi Laha menjerit dan mencoba bangkit. Tapi.. BRAAK!! Dengan cepat kutindih kembali tubuh montok yang hampir saja terduduk itu sehingga punggungnya yang mulus sedikit terhempas ke meja. Wajah Bi Laha semakin panik ketika kutempelkan kepala penisku ke liang vaginanya.

("Ya Tuhan, ia mulai kasar lagi dan penisnya, penis besarnya akan memasukiku! Sanggupkah aku menampungnya? Sakitkah rasanya? Aduuh, kenapa aku jadi panik begini? Persis seperti seorang gadis yang akan diperawani. Oh.. Rafi, bibi benar-benar mengharapkan kau melakukannya. Bibi benar-benar ingin bersetubuh denganmu. Tapi bibi malu karena kamu keponakanku sendiri. Bibi juga takut Mang Iyus tahu perbuatan kita. Oh Rafii, gelinya bibir vagina bibi.. jangan berlama-lama sayang, persetan dengan pamanmu, masukkan sekarang.")

Bersambung ke bagian 04

Tidak ada komentar:

Posting Komentar